Bentuknya macam-macam. Namun hampir semua kerajinan dari bahan limbah ini dibiarkan memiliki warna seperti aslinya. Serba coklat alami. Berkesan eksotik.
Di Jawa Timur, ada ratusan perajin tempurung kelapa. Jumlahnya terus bertambah karena keberadaan limbah buah kelapa juga melimpah.
Laiknya membuat kerajinan, mengolah tempurung kelapa juga butuh keterampilan. Teknologi yang dipakai tak perlu canggih. Sentuhan inovasi membuat kerajinan ini semakin diminati sampai mancanegara.
Dwi Wahyuni, penggemar kerajinan tempurung kelapa, mengaku punya banyak koleksi kerajinan ini. “Dulu saya membeli ketika tugas di Bali. Hasil olahan tempurung kelapa di sana lebih halus dan bentuknya inovatif. Kalau yang saya jumpai di Jatim, kok standar,” aku wanita 42 tahun ini.
Koleksi terbanyak adalah tas dari tempurung kelapa, lainnya aksesori dan peralatan rumah tangga. “Harganya cukup terjangkau, tak sampai Rp 100.000. Kalau kerajinan yang berupa tas masih awet sampai sekarang. Tapi kalau sendok, garpu dan peralatan memasak lainnya kurang awet, mungkin karena sering dipakai,” ujar Dwi.
Demikian halnya aksesori macam ikat pinggang, kalung, serta hiasan interior rumah. “Tempurung kelapa meskipun kelihatannya keras, tapi dalam tempo dua tahunan gampang retak atau pecah. Terutama yang dipecah-pecah menjadi bulatan kecil,” lanjut ibu satu anak ini.
Bagi Hepicsa Setiayuda, perajin tempurung kelapa asal Blitar, ide awal memulai usaha ini dilatarbelakangi limbah tempurung kelapa yang melimpah di kawasan rumahnya.
“Pohon kelapa tumbuh melimpah di Desa Seduri, Kecamatan Wonodadi. Waktu itu yang diolah cuma isi buahnya saja, tempurungnya dibuang dan numpuk. Di tempat lain ada yang dipakai bahan baku briket tapi tidak banyak, mungkin karena teknologi pengolahnya juga terbatas,” jelas pria kelahiran 2 Maret 1984 ini, ditemui di sela Jatim Fair di Grand City.
Paman Hepic iseng-iseng mengolah tempurung sendiri dengan dibantu mesin potong sederhana yang berukuran kecil. Dari situlah usaha berawal, sekitar 11 tahun silam.
“Dulu modalnya kecil sekali, sekarang omzet per bulan tak kurang dari Rp 70 juta. Tahun ini termasuk sepi order karena perajin sudah sangat banyak, jadi persaingannya ketat dan tidak bisa pasang harga tinggi. Order dari mancanegara sekarang tinggal Malaysia dan Thailand saja,” katanya.
Jenis kerajinan yang banyak dipesan seperti, lampu hias dan tas fashion. “Sebetulnya apapun jenis usaha pengolahan limbah, jika di-support maka bisa sangat berkembang. Kendalanya justru bukan modal, tapi lebih ke inovasi dan pemasaran. Ini mengingat pasar kerajinan tempurung kelapa di pasar domestik sudah mulai jenuh,” jelas Hepic.
Diakuinya, untuk mengekspor tidak mudah. “Standar kualitas harus tinggi, jumlah produksinya juga harus stabil,” ujar alumni Pendidikan Keguruan dari Universitas Surabaya ini.
“Sistem kerjanya borongan dan pengerjaannya bisa di rumah warga sendiri, finishing-nya baru di pabrik saya. Tapi khusus jenis lampu hias, pengerjaannya tidak bisa langsung banyak karena tenaga ahlinya cuma satu orang,” papar Hepic, yang biasanya memesan puluhan ikat tempurung sekaligus. Per ikat yang terdiri dari puluhan tempurung itu biasanya dihargai Rp 15.000.
Untuk menggali pasar, Hepic menggali ide melalui browsing di dunia maya dan konsultasi pada eksportir. “Usaha saya dapat pembinaan dari Universitas Brawijaya dan Dinas Sosial Provinsi Jatim. Inovasi kadang juga digali dari sana,” ujarnya.
Ke depan, mantan guru SD ini mengaku, bakal menjelajah pasar ekspor Australia dan AS. “Kapan hari sudah ada penawaran dari buyer di sana. Tinggal saya inovasi produk dan kirim contoh,” jelas sulung tiga bersaudara ini.
Hepic dipercaya mengelola usaha limbah tempurung kelapa ini lantaran tinggalnya tak jauh dari rumah paman. Selain karena anak-anak pamannya yang masih berusia sekolah dasar, orangtua Hepic sendiri juga berprofesi sebagai guru dan memiliki adik-adik yang masih kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
INDONESIA PLASA