23 Oktober 2010

VAS BUNGA HASIL DAUR ULANG MENGHASILKAN UANG






INDONESIA PLASA BY:Toni Samrianto.

Dari bengkel kerja sederhana miliknya, Achmad Iskandar mampu memproduksi lebih dari 900 vas bunga setiap bulan. Barang yang terbuat dari plastik bekas itu dijual ke sejumlah daerah di Kalimantan Timur. Kini, keinginannya hanya satu, yakni memperbesar produksi dan pasar.

Ide bapak enam anak untuk berkecimpung dengan sampah plastik berawal dari ketika dirinya mengikuti kegiatan pameran dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Tingkat Nasional di Balikpapan, Kalimantan Timur, Juli 2008. Saat itu, Iskandar yang mewakili Pemerintah Kota Balikpapan melihat banyak produk daur ulang dari daerah lain yang ikut dipamerkan.

Namun, sepanjang mata memandang, produk daur ulang tersebut wujudnya konvensional, mulai dari taplak meja, tas plastik, hingga produk lainnya yang sudah banyak di pasaran. Saat itulah Iskandar yang sebelumnya menggeluti tanaman hias tebersit untuk membuat sesuatu yang berbeda dan lebih baik daripada yang ada. Jatuhlah pilihan membuat vas bunga.

Ia pun kemudian mempelajari berbagai hal tentang plastik. Ia mencoba mencari tahu apa saja yang bisa dibuat dari sampah plastik, bagaimana mengolahnya, hingga bahaya apa yang bisa ditimbulkan olehnya. Iskandar menghabiskan waktu beberapa bulan untuk uji coba sebelum akhirnya berhasil membuat produk yang dianggap sempurna.

Ditemui di rumahnya, Jalan AMD Sungai Ampal Nomor 68, Kota Balikpapan, Senin (16/8), lelaki kelahiran Muara Muntai, 57 tahun silam, ini menunjukkan sejumlah vas bunga buatannya. Ada sekitar 20 macam bentuk, mulai dari yang berukuran tinggi 25 sentimeter dengan diameter 12 sentimeter hingga tinggi 45 sentimeter dengan diameter 40 sentimeter.

Barang daur ulang itu dicat dan diberi gambar, antara lain bunga hingga motif khas Dayak. Selain vas bunga, Iskandar juga mencoba membuat produk lain berupa tiruan batu alam atau yang biasa disebut marmo. Marmo biasa di tempel pada dinding rumah sebagai ornamen ataupun yang sekadar untuk melapisi lantai seperti ubin.

Oleh Iskandar, produknya dijual mulai dari Rp 25.000 per buah untuk vas bunga dan Rp 175.000 per meter persegi untuk marmo. Selain di pasar, ia menjual ke kantor-kantor pemerintah daerah dan pameran. ”Sejauh ini pemasarannya baru sampai ke Samarinda, Bontang, Sanggata, dan Tenggarong. Itu pun persentasenya lebih besar vas bunga,” ujarnya.

Metode pembuatan vas bunga ala Iskandar cukup sederhana. Sampah plastik yang sudah terkumpul dimasak hingga berubah menjadi pasta. Setelah itu pasta dituangkan pada cetakan yang terbuat dari semen. Setelah mengeras, baru cetakan dilepas untuk selanjutnya dilakukan proses akhir. Untuk menghaluskan digunakan ampelas dan resin untuk menutup pori-pori.

Semua proses peleburan sampah plastik ini memanfaatkan peralatan manual berupa kompor gas dan wajan berdiameter 18 inci. Ada empat set kompor gas di bengkel Iskandar. Cara melelehkan plastik pun cukup singkat. Untuk meleburkan satu wajan plastik diperlukan waktu sekitar 20 menit, sementara untuk proses pembentukan dibutuhkan waktu 10 menit.

Sampah plastik dari berbagai jenis itu sebelumnya dipilah menjadi tiga bagian, yakni plastik padat, seperti botol oli; plastik lunak, seperti botol air mineral; dan plastik berlapis foil, seperti bungkus makanan kecil. Setelah itu sampah yang memiliki rongga, seperti botol minyak pelumas, dipotong kecil-kecil agar tidak memakan tempat.

”Dari tiga bagian plastik ini kemudian dicampur dengan perbandingan tertentu. Perbandingan ini cukup penting agar plastik bisa bercampur dengan baik dan mengeras. Sebab, jika kebanyakan sampah padat, tidak akan jadi,” ujarnya.

Untuk sekali proses peleburan, Iskandar bisa menghabiskan 150-200 kilogram sampah plastik tergantung persediaan. Dari jumlah itu tercipta sekitar 300 vas dengan rincian satu vas bunga memerlukan bahan baku 0,5 kilogram sampah.

Diakui, ketersediaan sampah plastik menjadi salah satu kendala yang dihadapi. Kota Balikpapan yang cukup kecil, dengan jumlah warga yang tidak terlalu besar, membuat sampah yang dihasilkan masih terbatas. Karena itu, Iskandar mencoba strategi dengan cara merangkul ibu rumah tangga dan pemulung sebagai pemasok utama bahan baku.

Iskandar pun menyosialisasikan kepada warga di Kelurahan Sumberejo—wilayah tempat ia tinggal—tentang pentingnya sampah plastik. Warga diingatkan agar memilih dan mengumpulkan sampah yang masih bisa digunakan. Sampah yang terkumpul itu diantar ke rumah Iskandar. Sebagai bentuk penghargaan dan memotivasi warga, Iskandar membayar Rp 1.000 untuk setiap kilogram sampah.

”Sebelumnya saya hanya membeli sampah seharga Rp 500 per kilogram dari warga di Kota dan Rp 1.000 untuk warga yang berada di pinggir laut. Tujuannya agar warga tidak membuang sampah ke laut. Namun, dalam perkembangannya, warga yang berada di kota kurang termotivasi untuk mengumpulkan sampah. Akhirnya, sejak satu tahun lalu harganya disamakan,” katanya.

Selain bahan baku, kendala lain yang dihadapi Iskandar adalah minimnya peralatan. Dengan peralatan yang ada saat ini jelas sekali produk yang dihasilkan masih terbatas. Karena itu, sejumlah upaya telah dilakukan untuk mewujudkan usaha yang lebih besar dengan alat-alat pabrikan, salah satunya membuat badan hukum usaha menjadi CV Prima Executive dengan maksud untuk memperkuat posisi ketika ada pihak ketiga yang ingin bekerja sama.

Mendaur ulang sampah menjadi barang baru bukan saja menjadi solusi untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru karena Iskandar sudah memiliki enam karyawan. Lebih dari itu, membuat produk daur ulang adalah upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan.



TAK LEKANG DI PANAS TAK LAPUK DI HUJAN TETAP MENGHASILKAN UANG

Vas bunga, pot, guci, wadah payung, dan tempayan tertata acak di ruang terbuka di tempat peristirahatan (rest area) Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi) Kilometer 88 di Sukatani, Purwakarta, Jumat (14/8). Warnanya kusam, penuh bercak, berkarat, dan tampak tua meski produk baru.

Produk serupa ada di ruang tengah kantor Penelitian dan Pengembangan Keramik di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Beberapa staf menyiapkannya sebagai sampel yang akan dikirim ke Singapura. "Ada 60 produk yang dipesan," kata Jujun Junaedi, staf kantor itu.

Sepuluh tahun terakhir, keramik "kusam" menjadi fenomena tersendiri di sentra industri keramik Plered. Tak seperti corak lain yang hanya bertahan dalam hitungan bulan, ekspor keramik dengan corak itu bertahan selama beberapa tahun. Corak karat intan bahkan sempat menjadi tren di Amerika Serikat.

Menurut sejumlah perajin, fenomena itu menjadi salah satu tanda bahwa industri turun-temurun itu belum lekang oleh waktu. Meski telah berlangsung sejak lebih dari seabad lalu, usaha rakyat itu masih menghidupi.

Kelompok Kerja Klaster Keramik Plered mencatat ada 220 unit usaha pembuatan keramik di Plered pada 2008. Setidaknya 999 tenaga kerja terlibat dalam usaha tersebut. Sejumlah kota/kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi menjadi daerah pemasaran keramik Plered. Namun, tak kurang 15 pengusaha mengekspor produknya ke luar negeri.

Gaya hidup

Sejak pertengahan tahun 2008 hingga triwulan pertama 2009, permintaan ekspor sempat lesu akibat krisis keuangan global. Sebagian besar dari 20 pengusaha yang biasa mengekspor produknya tidak menerima order ketika itu. Namun, mulai April 2009, pesanan kembali datang.

"Ada empat negara, yaitu Belanda, Korea Selatan, Australia, dan Singapura, yang memesan keramik akhir-akhir ini, tetapi jumlahnya belum banyak," ujar Alex, Koordinator Pemasaran Luar Negeri Pokja Klaster Keramik Plered.

Penurunan ekspor keramik pada kurun itu diperkirakan mencapai 50 persen dibandingkan dengan tahun 2007. Kini rata-rata ekspor kurang dari 8 kontainer per bulan. Karena itu, sejumlah pengusaha menambah variasi produk dan harga jual produknya untuk mendongkrak penjualan.

Kepala Litbang Keramik Kabupaten Purwakarta Ahmad Nizar menambahkan, peluang pasar keramik dalam negeri masih cukup terbuka. Tren menanam tanaman hias, maraknya perumahan baru bertema lingkungan, dan pembangunan taman, misalnya, menjadi peluang potensial bagi pelaku usaha keramik.

Eman Sulaeman, Ketua Pokja Klaster Keramik Plered, menambahkan, pengusaha keramik optimistis usahanya akan terus bertahan. Apalagi, keramik kini menjadi salah satu gaya hidup. Itu terlihat dari perubahan model, corak, dan bentuk keramik yang mengikuti tren furnitur, hunian, dan desain interior dari waktu ke waktu.

"Di negara maju seperti Amerika Serikat, tren keramik berubah mengikuti tren mode pakaian, furnitur, dan gaya hidup lainnya. Hal itu belakangan menggejala di dalam negeri," katanya.

Kini, selain membuat pot, vas, guci, dan tempayan, perajin keramik juga membuat hiasan dinding, suvenir, dan perabot artistik pengisi rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA