24 November 2010

Henri: Garuda Kurang Profesional Perlu Direformasi

INDONESIA PLASA BY: TONI.S
Denpasar Dosen komunikasi Universitas Airlangga Surabaya Dr Henri Subiakto menilai, Garuda Indonesia kurang profesional dalam memberikan penjelasan dan merespons keluhan pengguna jasa terkait kekacauan penerbangan belakangan ini, sehingga perlu direformasi.

"Masih ada fakta-fakta yang tidak dijelaskan sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Seperti soal penerbangan haji, seharusnya tidak serta merta menyalahkan pihak Bandara Madinah maupun Jedah," kata Henri saat dihubungi dari Denpasar, Rabu.

Henri yang usai menjalankan ibadah haji dan jadwal kembali ke tanah air menggunakan Garuda (reguler) tertunda lebih 24 jam, Rabu siang kembali "terlantar" di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng ketika hendak terbang menggunakan Garuda ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

"Saya sudah ditunggu dua jadwal talkshow di RRI Banjarmasin dan TVRI Kalsel pukul 16.00 Wita, tetapi karena sampai 14.00 WIB (15.00 Wita) belum ada kejelasan terbang, ya terpaksa pilih balik ke rumah. Ke Banjarmasin juga sudah terlambat," katanya dalam suara keras, sedikit emosi.

Staf ahli Menteri Kominfo bidang media massa itu menjelaskan bahwa sesuai jadwal, rombongan haji khusus (ONH plus) menggunakan pesawat Garuda reguler GA 918 dari Jedah dijadwalkan terbang Senin (22/11) pukul 19.30 waktu setempat.

Namun menunggu berjam-jam tidak ada kejelasan dan pesawat yang akan menerbangkan rombongannya, ternyata belum datang. Rombongan Henri akhirnya baru terbang Selasa (23/11) pukul 22.10, setelah sebelumnya diumumkan siap terbang pukul 20.00.

Berkaitan dengan hal tersebut, Henri menilai penjelasan Vice President Corporate Communications Garuda Pujobroto yang saat itu disiarkan berbagai media tidak "fair", karena menyatakan keterlambatan pesawat tak terkait masalah sistem baru Garuda.

"Saat itu pesawat dari Jakarta yang akan menerbangkan rombongan kami, baru tiba di Jedah Selasa pukul 16.00. Tetapi kenapa penjelasan dari pihak Garuda di Jakarta berbeda. Sebagai maskapai terbesar dan paling dipercaya di tanah air, seharusnya profesional," katanya.

Henri yang juga Ketua Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA, juga menyayangkan respons pelayanan terhadap keluhan rombongan jemaah haji yang jauh dari memuaskan. "Dikatakan siap boarding pukul 20.00, ternyata baru terbang lebih dua jam kemudian," ucapnya.

Demikian pula saat dirinya "terlantar" di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, tidak ada ketegasan, apakah pesawat yang dijadwalkan terbang ke Banjarmasin pukul 12.20 WIB dan sudah terlambat dua jam itu ada kepastian terbang atau tidak.

"Semestinya kan dijelaskan yang sebenarnya. Kalau memang tidak siap terbang ya beritahukan kepada calon penumpang apa adanya, sehingga pengguna jasa tidak kembali dibuat kecewa," harapnya.

Mengenai pengembalian uang tiket bagi yang batal terbang, hal itu merupakan keharusan. Bagi pengguna jasa bukan hanya rugi waktu dan lelah menunggu, tetapi juga banyak kegiatan yang terpaksa batal. "Ini kerugian yang tidak ternilai, Garuda seharusnya punya empati dengan melakukan komunikasi secara baik," tuturnya.

Dari komunikasi yang disampaikan para pejabat Garuda Indonesia, Henri menilai pimpinan maskapai penerbangan terbaik di Indonesia tersebut dinilai tidak memahami persoalan yang sebenarnya.

Dia juga menyayangkan implemenasi sistem baru Integrated Operation Control System (IOCS) tidak mempertimbangkan ketepatan waktu, yakni justru dilaksanakan saat musim pulang haji. "Ini juga menandakan komunikasi dari tingkatan perencana, pelaksana dengan pimpinan manajemen tidak berjalan dengan baik," kritiknya.

Melihat berbagai fakta tersebut, Henri mengingatkan perlunya reformasi di Garuda Indonesia demi menyelamatkan maskapai penerbangan ternama yang menjadi salah satu "bendera Indonesia" di kancah internasional itu.(*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA