28 Januari 2011

PBB: Dunia Butuh Revolusi

INDONESIA PLASA

Davos, jumat - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon mendesak para pemimpin negara dan korporasi dunia untuk benar-benar serius menemukan inovasi ekonomi demi menyelamatkan Planet Bumi. Menurut Ban, model ekonomi yang dijalankan saat ini sudah sangat usang, terbukti merusak lingkungan, dan dunia kehabisan waktu jika tidak segera melakukan sesuatu.

”Kita butuh revolusi,” tandas Ban pada kesempatan berbicara dalam salah satu panel diskusi di Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di resor ski Davos, Swiss, Jumat (28/1). Ban menekankan, jika model ekonomi baru, yang berkelanjutan dan bisa ditopang planet ini, tak segera ditemukan, dunia sama saja sedang menyepakati ”pakta bunuh diri global”.

”Kita makin kehabisan waktu. Inilah saatnya untuk mengatasi perubahan iklim dan memastikan pertumbuhan (ekonomi) yang bisa ditopang,” papar Ban dalam panel diskusi, yang juga menampilkan panelis Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Meksiko Felipe Calderon, CEO jaringan supermarket Walmart Mike Duke, dan pendiri Microsoft Bill Gates.

Jim Balsillie, salah satu CEO Research in Motion (produsen telepon pintar Blackberry), mengatakan, teknologi saja tak cukup untuk memecahkan masalah bagaimana mempertahankan pertumbuhan ekonomi tanpa meningkatkan dampak terhadap lingkungan. ”Kita harus memikirkan kembali (model) ekonomi di tingkat paling dasar,” tutur Balsillie.

Presiden Yudhoyono mengatakan, Indonesia saat ini berusaha menanam satu miliar pohon per tahun untuk mempertahankan hujan hutan tropis demi membantu mengurangi dampak pemanasan global. Meski demikian, Presiden menolak gagasan bahwa negara-negara berkembang harus melepas cita-cita menjadi sama kaya dengan negara-negara maju demi menyelamatkan bumi.

Bill Gates mengamini pernyataan Yudhoyono ini dengan mengatakan, ”Dunia akan menjadi tempat yang tidak adil apabila kita menyuruh orang-orang (di negara berkembang), untuk menggunakan energi yang lebih sedikit daripada rata-rata warga Eropa.”

Tak memuaskan

Dilema seperti inilah yang membuat perundingan tentang perubahan iklim yang disponsori PBB selalu tak menghasilkan kesepakatan yang memuaskan. Negara-negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang sedang tinggi-tingginya, seperti China dan India, menolak adanya perjanjian pengurangan emisi gas rumah kaca yang bersifat mengikat dan wajib.

Mereka beralasan, perjanjian seperti itu akan mengganggu pertumbuhan ekonomi mereka, yang masih dibutuhkan untuk membebaskan rakyat mereka dari kemiskinan.

AS, negara maju yang menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, memanfaatkan kesempatan itu dengan mengatakan, pihaknya baru akan mempertimbangkan perjanjian yang mengikat setelah China dan India melakukan hal yang sama.

Perdebatan tak berujung seperti inilah yang mewarnai forum di Davos tersebut. Forum Ekonomi Dunia kali ini diikuti tak kurang dari 2.500 tokoh politik dan bisnis dari seluruh dunia, termasuk para pemimpin negara dan bos-bos perusahaan dunia.

Meski disebut lebih bergairah dibanding pertemuan tahun lalu, WEF tetap dinilai hanya menghasilkan omong kosong belaka. Thomas Friedman, kolumnis The New York Times yang ditunjuk menjadi salah satu moderator diskusi di WEF tahun ini, berharap, tahun depan para pemimpin ini akan bertemu kembali dan mengakui, bahwa ”jumlah molekul CO2 di udara benar-benar bergantung pada apa yang mereka katakan dan lakukan di sini.”

Beda pendapat

Forum diskusi di Davos juga diwarnai perbedaan pendapat antara Inggris dan AS. Perdana Menteri Inggris David Cameron menegaskan, kebijakan penghematan anggaran negara yang dilakukan di Inggris telah menunjukkan hasil positif, dan mengajak seluruh negara Eropa menuruti jejak Inggris untuk keluar dari krisis ekonomi.

Sebaliknya, Menteri Keuangan AS Timothy Geithner berpendapat, pemotongan anggaran negara yang tiba-tiba dan drastis adalah ”langkah tak bertanggung jawab”. ”Kami tak akan melakukan itu,” kata Geithner.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA