31 Januari 2011

INFLASI, SUKU BUNGA DAN BIAYA MONETER

INDONESIA PLASA

ANALISIS EKONOMI
Inflasi, Suku Bunga, dan Biaya Moneter

A TONY PRASETIANTONO

Bank Indonesia kini dalam posisi dilematis. Di satu pihak, inflasi tinggi mencapai 6,96 persen (2010) semestinya direspons dengan kenaikan suku bunga acuan yang masih dipertahankan 6,5 persen. Ini wajar karena BI juga berkepentingan untuk melindungi masyarakat penabung (deposan) agar tetap mendapatkan suku bunga riil positif. Jika suku bunga simpanan 6,5 persen, padahal inflasi 6,96 persen, ini berarti penabung rugi karena menanggung suku bunga riil negatif.

Namun, di sisi lain, jika suku bunga acuan (BI Rate) dinaikkan, misalnya menjadi 7 persen, timbul kekhawatiran terjadinya arus masuk modal asing jangka pendek secara masif. Fenomena ini memang berdampak positif berupa kenaikan cadangan devisa yang kemudian menyebabkan rupiah menguat dan stabil. Namun, hal itu juga menimbulkan kenaikan biaya moneter. BI harus membayar bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hingga Rp 30 triliun pada 2010. Jika dana asing masuk lebih banyak lagi, biaya moneter akan meningkat pada 2011. Modal BI bisa habis dalam satu hingga dua tahun. Ini jelas gawat!

Karena itulah, para petinggi BI berkali-kali mengatakan, menaikkan BI Rate adalah opsi terakhir. Masalahnya, sampai kapan BI dapat mempertahankan BI Rate?

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Januari 2011 diwarnai dengan risiko inflasi tinggi. Pada bulan inilah terjadi ”pertemuan” antara risiko inflasi yang berasal dari siklus musim/cuaca yang menyebabkan kegagalan panen dan kecenderungan peningkatan permintaan barang serta jasa saat anak sekolah memulai semester baru. Contohnya, inflasi Januari 2010 mencapai 0,84 persen. Januari 2008 bahkan 1,77 persen. Inflasi rendah sempat terjadi pada Januari 2009, hanya 0,07 persen. Itu terjadi karena seluruh dunia tercekam deflasi (inflasi negatif), dampak krisis finansial global 2008.

Pada Januari 2011—yang data resminya akan diumumkan Badan Pusat Statistik, 1 Februari 2011— inflasi diperkirakan tidak jauh dari Januari 2010 atau sekitar 0,84 persen. Alasannya, selain faktor domestik, juga kenaikan harga minyak dunia di atas 90 dollar AS per barrel. Masih untung beberapa hari ini harga minyak turun menjadi 85 dollar AS per barrel.

Jika inflasi Januari 2011 sekitar 0,84 persen, inflasi year on year (12 bulan terakhir) juga akan sekitar 6,96 persen. Apakah BI Rate bisa dipertahankan tetap 6,5 persen? Bisa, asalkan ada bukti belum terjadi reaksi negatif berupa penarikan dana oleh investor asing secara masif.

Sejauh ini sudah terjadi reaksi negatif, seperti penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) menjadi 3.500, dari level tertinggi 3.700. Rupiah sedikit melemah menjadi Rp 9.070 per dollar AS dari level tertinggi Rp 8.900. Jadi, apakah realistis mempertahankan BI Rate 6,5 persen tatkala inflasi sudah 6,96 persen? Ada semacam ”teori” bahwa BI Rate seyogianya tak dibandingkan dengan inflasi aktual atau ex-post, tetapi dibandingkan dengan ekspektasi inflasi (expected inflation) yang kini sekitar 6 persen (2011). Jika ini yang jadi pegangan, BI Rate 6,5 persen menjadi relevan dipertahankan.

Namun masalahnya, ekspektasi inflasi sekarang juga bisa berubah setiap saat karena begitu dinamisnya tekanan inflasi. Dalam waktu singkat, bisa saja ekspektasi inflasi naik menjadi 6,5 persen. Jika ini terjadi, BI Rate 6,5 persen kurang sesuai.

Selain faktor-faktor itu, BI berusaha menahan BI Rate untuk mengirim sinyal kepada industri perbankan bahwa otoritas perbankan tetap menghendaki penurunan bunga kredit. Hal ini dapat meningkatkan intermediasi yang ditunjukkan dengan kenaikan jumlah kredit dan rasio kredit terhadap dana simpanan (loan to deposit ratio/LDR). Jika BI Rate naik, bank-bank umum akan merespons menaikkan bunga simpanan dan bunga kredit.

Logika ini belum tentu linier. Kenaikan BI Rate memang otomatis menaikkan bunga simpanan (tabungan dan deposito). Namun, tak serta-merta menyebabkan kenaikan bunga kredit. Bank akan berpikir ulang karena itu bukannya tanpa risiko. Tingkat kredit macet (nonperforming loan/NPL) juga berpotensi naik. Ini harus dihindari.

Caranya? Bank-bank harus kreatif menemukan sumber-sumber pendapatan lain.

Daripada menghadapi risiko NPL, bank lebih baik mendorong efisiensi, mulai hal sepele, seperti mengurangi perjalanan dinas sampai penggunaan teknologi informasi menggantikan pelayanan cabang yang lebih mahal. Contohnya, membangun jaringan ATM jauh lebih agresif daripada menambah cabang. Begitu pula intensifikasi penggunaan internet banking dan phone banking.

Selain itu, bank juga harus kreatif dan inovatif menciptakan produk-produk jasa pelayanan yang menghasilkan pendapatan (fee based income). Kemampuan bank untuk menghimpun lebih banyak dana murah dalam bentuk tabungan juga kunci menghasilkan laba. Itulah sebabnya banyak bank menawarkan hadiah untuk merayu masyarakat menyimpan dalam tabungan yang berbunga murah daripada deposito yang mahal.

Lalu, bagaimana kesimpulannya? Berdasarkan data Januari 2011, terdeteksi adanya respons negatif oleh pasar terhadap kebijakan BI Rate tetap 6,5 persen. Kemerosotan IHSG, pelemahan kurs rupiah, dan pembalikan modal asing—jumlahnya masih di bawah Rp 5 triliun—merupakan fakta konkret. Namun, semua respons itu masih dalam batas wajar. Belum ada reaksi ekstrem. Kecuali jika IHSG terjungkal ke arah 3.000; rupiah terperosok di atas Rp 9.200; modal asing lari sampai 5 miliar dollar AS; dan cadangan devisa merosot drastis ke 90 miliar dollar AS atau kurang; BI memang harus lekas menaikkan BI Rate, bahkan dengan besaran signifikan. Namun, sejauh ini, reaksi pasar belum terjadi. Semoga tidak.

Dengan asumsi tersebut, sangat boleh jadi BI akan tetap mempertahankan BI Rate pada pekan pertama Februari 2011. Selanjutnya, Februari biasanya memasuki siklus inflasi yang lebih landai. Data inflasi Februari: 0,65 persen (2008), 0,21 persen (2009), dan 0,30 persen (2010). Jika bisa melewati Februari 2011 dengan baik, awal Maret 2011 pun BI Rate masih bisa bertahan 6,5 persen.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA