8 Oktober 2010

KUR DI REKOMENDASIKAN UNTUK OKI

INDONESIA PLASA BY:Toni Samrianto.


Kompas/ Orin Basuki
Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa mengamati dan mencoba sebuah senapan laras panjang buatan Turki dalam MUSIAD International Trade Fair di Istanbul, Turki, Jumat (8/10/2010). MUSIAD adalah kamar dagang dan industry terbesar di Turki saat ini, yang memiliki 3.150 anggota senior dari lima sector industri di Turki. MUSIAD International Trade Fair kali ini digelar pada 7-10 Oktober 2010, yang dikunjungi sekitar 130.000 orang. Indonesia berencana menjadi peserta dalam pameran tersebut mulai tahun 2011.

Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa mengusulkan agar KUR atau Kredit Usaha Rakyat diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam atau OKI sebagai sistem pembiayaan mikro di negara-negara miskin. Namun, KUR membutuhkan suntikan dana dari pemerintah negara miskin tersebut sebagai premi atas risiko gagal bayar yang mungkin terjadi pada debitur KUR.

"Akan tetapi, tidak ada satu pun negara miskin anggota OKI yang akan sanggup mengalokasikan anggaran penjaminan kredit mikro seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk penjaminan KUR sebesar Rp 2 triliun. Oleh karena itu, kami mengusulkan agar ada peran aktif dari IDB (Bank Pembangunan Islam) untuk membantu pemerintah di negara miskin menyediakan dana penjaminan. Bagaimana pun publik IDB adalah OKI," ungkapnya di Istanbul, Turki, Jumat (8/10/2010).

Di Indonesia, pemerintah membayar premi yang setara dengan 10 persen dari jumlah nominal KUR yang diharapkan dapat dialirkan. Karena target kucuran KUR sekitar Rp 20 triliun, maka pemerintah menyediakan dana penjaminan senilai Rp 2 triliun. Dana Rp 2 triliun ini diberikan kepada Jamkrindo dan Askrindo sebagai perusahaan yang menjaminkan setiap KUR yang dicairkan perbankan. Bank terbesar yang menyalurkan KUR adalah BRI.

Penjaminan Rp 2 triliun itu cukup untuk menjamin setiap potensi gagal bayar yang mencapai empat persen. Potensi gagal bayar pada pembiayaan mik ro di berbagai negara akan berlainan, dan bergerak dari skala 1-5. Khusus untuk Indonesia, potensi gagal bayarnya adalah empat persen.

Saat ini, IDB mengelola Islamic Solidarity Fund for Development (ISFD), yakni dana wakaf dari 57 negara anggota OKI. Dana ini digunakan untuk negara-negara anggota OKI yang memiliki tingkat perekonomian rendah. Nilai dana yang terkumpul saat pertama kali diluncurkan (Maret 2008) adalah 10 miliar dollar AS. Program utamanya adalah mengentaskan kemiskinan.

Namun, menurut Hatta, ISFD tidak berjalan maksimal karena IDB tetap mengharuskan adanya agunan pada setiap calon debiturnya. Padahal, masyarakat di negara miskin rata-rata tidak memiliki agunan yang dapat dijadikan sebagai jaminan untuk mendapatkan pembiayaan mikro. Ini yang membedakan ISFD dengan KUR.

"Jadi kalau mau jalan, harus ada perubahan di IDB sendiri. KUR berjalan karena tidak mewajibkan ada agunan, cukup dilihat usahanya. Jika usaha yang akan dibiayai KUR tergolong meyakinkan, maka dia layak mendapatkan pembiayaan," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA