17 Januari 2011

Masalah Perumahan Tanpa Perda PBHTB, Konsumen dan Pemda Dirugikan

INDONESIA PLASA



Senin, 17 Januari 2011 | 15:40 WIB
Dok Kemenpera
Hari Habitat Dunia menargetkan pembangunan kota yang lebih baik dengan permukiman yang lebih baik pula

Menteri Perumahan Rakyat, Suharso Monoarfa menilai, tanpa peraturan daerah tentang Pajak Bea Perolehan Tanah dan Bangunan (PBHTB), maka konsumen dan pemerintah daerah akan sangat dirugikan.
Ada potensi penghambatan pajak masuk sebesar Rp240 miliar per bulan dari pembayaran PBHTB yang harusnya dilunasi konsumen sebelum proses KPR disetujui bank.
-- Teguh Satria

"Calon pembeli rumah dan pemda itu sendiri akan dirugikan," katanya menjawab pers usai Penandatanganan MoU dengan Kemenpera - BPKP tentang Penguatan Tata Kelola Kepemerintahan yang baik dan pembukaan Raker Kemenpera 2011 di Jakarta, Senin.

Penegasan itu disampaikan Menpera Suharso Monoarfa terkait dengan ketidaksiapan sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia dengan peraturan daerah untuk menerapkan ketentuan PBHTB.

Direktorat Jenderal Pajak, terhitung 1 Januari 2011 melimpahkan PBHTB kepada pemerintah daerah sebagai bentuk insentif fiskal untuk memperkuat pendapatan asli daerah (PAD). Namun, kata Suharso, sampai saat ini hanya beberapa pemda di Indonesia yang sudah memiliki perda untuk itu. "Hanya 8-10 pemda yang siap seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Solo, Medan dan Makassar," katanya.

Padahal, kata Suharso, dengan ketentuan itu, mestinya pemda lebih peduli dan antusias karena hal itu terkait dengan pemasukan bagi PAD-nya. "Untuk itu, bisa saja, kami mengeluarkan regulasi baru sementara sebelum perdanya ada. Tetapi, ini tak bisa mengikat sepenuhnya karena segala sesuatu terkait pungutan itu berdasarkan Undang-Undang," katanya.

Tidak hanya itu, tegasnya, solusi sementara adalah para calon pembeli tanah dan rumah itu, bisa membuat perikatan sementara, meski hal ini juga berisiko. "PBHTB kan terkait dengan NJOP (nilai jual objek pajak) dan lain-lain. Tetap, kurang efektif," katanya.

Suharso juga menyatakan, saat ini beberapa kendala utama yang dihadapi daerah, terkait sektor perumahan ini setidaknya tiga hal yakni pertama belum tuntasnya persoalan tata ruang. "Soal Tata Ruang, pemerintah menargetkan 2010, seluruh kabupaten/kota, RTRW-nya beres, ternyata tidak," katanya. Akibatnya, zonasi kawasan permukiman di setiap daerah belum jelas. Kedua, kata Suharso, soal perda PBHTB ini dan ketiga dalah soal Bank Tanah.

Menurut dia, itu semua berpotensi mengganggu proses pembelian tanah, rumah di Indonesia. "Semuanya bakal terhambat. Tidak hanya FLPP, semua KPR dan pelayanan publik sektor ini jadi terganggu," katanya. Ia berjanji akan mengemukakan persoalan serius tersebut ke forum asosiasi DPRD, kabupaten/kota. "Biar mereka lebih ’aware’ lagi," katanya.

Sebelumnya, mantan Ketua Umum REI, Teguh Satria mengungkapkan, untuk tahun ini saja, sedikitnya 12 ribu kepala keluarga di Indonesia tidak bisa mengajukan permohonan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) ke perbankan.

"Ada potensi penghambatan pajak masuk sebesar Rp240 miliar per bulan dari pembayaran PBHTB yang harusnya dilunasi konsumen sebelum proses KPR disetujui bank," katanya.
Ia memperkirakan, ada sedikitnya Rp24 triliun transaksi jual beli rumah di Indonesia pada tahun ini. "Jadi, jika biaya PBHTB sebesar 12 persen atau satu persen per bulan, maka ada potensi Rp240 miliar pendapatan pajak yang terhambat dalam hitungan per bulan saja," kata Teguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA