7 Januari 2011

Liga Primer atau Liga Super?

INDONESIA PLASA

Rabu, 5 Januari 2011 08:18 WIB
Liga Primer atau Liga Super?
Irfan Bachdim.
Memilih manakah Anda? Memilih yang ada Irfan Bachdim atau yang ada Bambang Pamungkas?

"Saya berani taruhan LPI tidak akan bertahan sampai setahun," kata Hariyanto Irsyad, karyawan Prudential, sebuah perusahaan asuransi nasional.

Tentu saja Hariyanto adalah pemilih LSI dan pilihannya lebih karena daya tarik klub-klub terkenal di Indonesia yang menghuni kompetisi ini.

Hariyanto menilai popularitas sebuah liga tergantung kepada uang. Klub-klub di LSI dinilainya memenuhi syarat itu karena pundi-pundi keuangannya dicukupi oleh APBD. Sebaliknya, klub-klub di LPI akan menggenjot pemasukan dari tiket dan iklan, karena tak sepeser pun dana APBD untuknya.

Masalahnya, sambung Hariyanto, perusahaan-perusahaan akan lebih suka memasang iklan di liga yang banyak pendukungnya karena itu menguntungkan mereka.

"Sudah jelas klub yang banyak pendukungnya adalah LSI," katanya.

Faktanya, di LSI banyak klub besar yang memiliki pendukung besar. Sebut saja Persija, Persib, Arema dan Sriwijaya FC. Di LPI, hanya Persebaya yang memiliki kelas pendukung setingkat klub-klub besar LSI itu.

Hariyanto melanjutkan --ups dia benar-benar mengikuti persepakbolaan-- kerugian LPI adalah jika salah satu klubnya menjadi juara kompetisi, maka si juara sudah pasti tak bisa mengikuti laga-laga berlevel internasional seperti Liga Champions Asia karena FIFA hanya mengakui satu liga.

"Saat ini yang FIFA akui adalah LSI," katanya.

Komentar Hariyanto dikuatkan Rizal Rifaii, penjaga halte busway Bank Indonesia. Anak muda ini jelas penyuka LSI karena di sini bercokol klub favoritnya, Persija.

"Orang-orang pasti milih LSI karena klub-klub beken ada di situ," ujar Rizal.

Sebaliknya, Habibi Yasin, pegawai swasta di daerah Jakarta Pusat, akan beralih memilih LPI. Dia menilai liga itu mandiri karena tak mengandalkan dana APBD yang sarat korupsi.

Ah, dia ternyata salah seorang dari banyak orang di negeri ini yang muak dengan perilaku korup sehingga apapun yang bernuansa korupsi, dia pasti menjauhinya.

Buktinya dia berkata, "Harusnya KPK sudah membongkar kasus korupsi di PSSI."

Sama dengan Habibi, Adi Prayitno yang berkuliah di Universitas Trisakti jurusan desain grafis, juga menyukai LPI. Tapi dia tampaknya mewakili generasi yang selalu kritis terhadap kemapanan, apalagi kemapanan itu menyimpan kebusukan. Adi memilih LPI karena menganggapnya membawa perubahan.

"Intinya LPI memberikan warna baru terhadap sepakbola tanah air," katanya.

Orang seperti Adi kesal terhadap kecenderungan memanipulasi pencapaian olahraga untuk keuntungan-keuntungan politik atau hanya demi mengeduk untung.

"Manajem LSI kurang mementingkan bola, uang doang yang dipikirin," sambung Reza Fiyan, mahasiswa Universitas Mercubuana jurusan Informatika.

Reza juga pemilih LPI. Alasannya, LPI bakal mendorong profesionalitas klub karena ada dukungan finansial yang besar kepadanya. Dia yakin dana yang besar berkorelasi dengan kualitas profesionalisme dan stabilitas tim.

"Klub di LSI cuma dapat kucuran dana Rp6 miliar sedangkan di LPI dapat Rp30 miliar," kata Reza mengutip informasi yang didapatkan dari internet.

Namun banyak juga yang belum menentukan pilihan, diantaranya Muhammad Dani. "Bagaimana harus memilih, bentuk permainan LPI saja tidak tahu," kata polisi pamongpraja ini

Irfan Bachdim

Ada satu titik temu antara mereka yang memilih LPI dan mereka yang penyuka LSI, yaitu sama-sama menyorot profesionalisme pengelolaan klub dan otoritas sepakbola.

Kendati tetap memilih LSI, Heriyanto enggan meninggalkan sikap kritisnya terhadap manajemen liga.

Dia ingin manajemen liga ditata lebih profesional lagi karena belum ada satu pun klub Indonesia yang menjuarai Liga Champion Asia. Dia yakin kekurangprofesionalan manajemen ligalah yang membuat ini terjadi.

Sebaliknya, kedua kubu masyarakat memuji kualitas para pemain liga. Yasin mengatakan pemain-pemain LSI sudah bagus dan itu terlihat dari performa mengesankan mereka saat tampil di turnamen Piala AFF 2010.

"Pemain LSI bagus, manajemen PSSI yang tidak becus," katanya.

Hal senada diutarakan Adi yang menyebut manajemen LSI kacau karena tak ada transparansi dalam pengelolaan keuangan. "LSI harus belajar dari liga internasional seperti Liga Premier Inggris atau La Liga Spanyol," ujarnya.

Reza menyorot jadwal pertandingan LSI yang dinilainya kacau dan superketat . Dia heran jadwal kok disusun seperti itu sehingga benar-benar menguras tenaga pemain. Sudah begitu, pengaturan jadwal pertandingan banyak tidak sesuai dengan tempat klub.

"Dulu pernah Persija bisa tanding tiga kali dalam seminggu," kata simpatisan JackMania ini.

Reza menilai jadwal yang tak teratur berimbas kepada kinerja klub, contohnya Persipura. Klub ini, kata dia, harus mengeluarkan dana sangat banyak untuk menyewa pesawat dan hotel demi memenuhi jadwal yang ketat.

Reza bermisal, pada minggu pertama Persipura harus melakoni pertandingan di Jakarta menghadapi Persija, setelah itu mereka ke Palembang untuk menantang Sriwijaya FC, dan terakhir ke Samarinda untuk melawan Persisam.

"Fisik pemain habis di jalan," katanya.

Lain lagi dengan Muhammad Dani. Pria ini mengkritik ketidaktegasan wasit-wasit LSI sehingga kekerasan fisik antarpemain sering terjadi, dan itu mendidihkan emosi penonton sehingga mereka ikut berbaku hantam di lapangan.

"Wasit Indonesia harus mencontoh wasit AFF kemarin," katanya.

Ada juga kalangan yang mengkhawatirkan pemain-pemain kesayangannya tak bisa memperkuat timnas, gara-gara ada dua liga sepakbola ini.

Di antara kelompok ini adalah Rizal. Dia mengkhawatirkan nasib Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan bakal tak bisa memperkuat timnas setelah PSSI mengharamkan klub-klub LPI.

"Kasihan Bachdim setelah capek-capek bela timnas malah luntang-luntung di klubnya," kata Rizal.

Dia, dan banyak fans sepakbola lainnya, ingin PSSI menyelamatkan aset-aset sepakbola seberharga Irfan.

Tapi, jangan-jangan pemain seperti Irfan malah menjadi salah satu alasan orang menikmati LPI. Irfan sendiri bisa dianggap menjadi salah satu alasan mengapa timnas demikian populer akhir-akhir ini.

Masalahnya, apa mungkin seorang pemain bisa mengangkat popularitas liga? Ya kadang-kadang, contohnya David Beckham dan Michael Jordan di NBA.

Beckham turut andil dalam kian menduniakan Liga Premier, bahkan dunia kini tak asing mendengar Liga Sepakbola AS (MLS) setelah salah seorang eksekutor bola mati dan pengumpan terbaik di dunia ini bergabung dengan Los Angeles Galaxy, anggota MLS.

Demikian juga Michael Jordan yang membuat NBA pernah begitu populer di seluruh dunia pada era 1990an.

Kini, untuk sedikit hal, kendati tak selevel, Irfan berpotensi menjadi daya tarik LPI.

Baik Beckham dan Jordan adalah talenta-talenta hebat olahraga, tapi mereka juga para lelaki yang laris diiklankan karena beraura model dan digandrungi banyak perempuan, kalangan yang paling melek iklan.

Irfan memiliki dua potensi itu. Memang jauh dari level yang dimiliki kedua superstar olahraga di atas, tapi potensi Irfan cukup untuk menjadi salah satu penarik menonton sepakbola, khususnya perempuan-perempuan muda yang tiba-tiba menjadi para penikmat olahraga namun mereka juga adalah pasar iklan amat menjanjikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA