10 Januari 2011

BI Pantau Inflasi Inti

INDONESIA PLASA

Senin, 10 Januari 2011 16:03 WIB
BI Pantau Inflasi Inti

Jakarta
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Hartadi A Sarwono mengatakan, pihaknya terus memantau pergerakan inflasi inti sebelum mengambil langkah untuk merespon tingginya tekanan inflasi dengan menaikkan BI rate.

"Apabila sudah terlihat tanda-tanda inflasi inti meningkat, BI tidak akan ragu-ragu menaikkan BI rate untuk merespon bahwa kita tidak suka dengan meningkatnya tekanan inflasi meski berasal dari kelompok makanan karena itu akan mempengaruhi inflasi inti melalui ekspektasi," kata Hartadi di Jakarta, Senin.

Menurutnya, inflasi yang bersumber dari indeks harga konsumen pada tahun 2010 memang tinggi dan berdampak pada tingginya ekspektasi masyarakat terhadap inflasi pada 2011.

Namun, dampak ekspektasi inflasi ini, lanjutnya bukanlah penyebab dari anjloknya indeks harga saham gabungan (IHSG) akhir pekan lalu dan Senin ini.

"IHSG terkoreksi karena pengaruh global. Di regional Asia kita lihat hampir semua pasar terkoreksi dengan penyebab utama adalah membaiknya ekonomi Amerika Serikat meski masih terdapat beberapa faktor risiko," katanya.

Kondisi ini, lanjut Hartadi menyebabkan "flight to quality" dari aset-aset di negara emerging market termasuk Indonesia. "Koreksi seperti ini perkiraan saya temporary untuk mengambil untung atau profit taking," katanya.

Menurut catatan BI, Inflasi indeks harga konsumen (IHK) pada Desember 2010 mencapai 0,92 persen (mtm) atau 6,96 persen (yoy). Angka realisasi inflasi IHK tersebut lebih tinggi dari target inflasi yang ditetapkan Pemerintah sebesar 4-6 persen.

Deviasi inflasi dari targetnya terutama disebabkan oleh tingginya inflasi kelompok volatile foods yang mencapai 17,74 persen (yoy) karena adanya gangguan produksi dan distribusi akibat anomali cuaca. Kenaikan inflasi volatile foods yang cukup tajam tersebut juga dialami oleh beberapa negara di kawasan.

Sementara itu, kelompok administered prices menunjukan inflasi yang moderat sebesar 5,40 persen (yoy) dan inflasi inti relatif terkendali pada tingkat yang cukup rendah, yakni sebesar 4,28 persen (yoy).

Perkembangan inflasi inti yang terjaga tersebut ditopang oleh nilai tukar rupiah yang menguat, ekspektasi inflasi yang terjaga, serta kapasitas perekonomian yang sejauh ini masih dapat memenuhi peningkatan permintaan.

Berdasarkan pengertiannya, ada 2 konsep dalam pengertian inflasi inti. Pertama, inflasi inti sebagai komponen inflasi yang cenderung "menetap" atau persisten (persistent component) di dalam setiap pergerakan laju inflasi. Kedua, inflasi inti sebagai kecenderungan perubahan harga-harga secara umum (generalized component).

Core inflation pada beberapa literatur disebut juga dengan underlying inflation. Inflasi inti inilah yang dapat dipengaruhi atau dikendalikan oleh BI.

Di dalam operasionalnya, BI tidak menggunakan inflasi IHK sebagai acuan dalam mengambil kebijakan moneter, namun menggunakan inflasi inti.

Penggunaan inflasi inti sebagai sasaran operasional dikarenakan inflasi inti dapat memberikan signal yang tepat dalam memformulasikan kebijakan moneter.

Sebagai contoh, dalam hal terjadi gangguan permintaan (demand shock) yang mengakibatkan inflasi tinggi, respon bank sentral akan mengetatkan uang beredar sehingga tingkat inflasi dapat ditekan.

Di samping itu, kebijakan tersebut dapat juga untuk menyesuaikan kembali pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang sesuai dengan kapasitas perekonomian.

Sebaliknya, jika inflasi meningkat karena terjadinya gangguan penurunan di sisi penawaran (supply side), misalnya kenaikan harga makanan karena musim kering maka kebijakan uang ketat justru dapat memperburuk tingkat harga dan pertumbuhan ekonomi.

Respon yang dapat dilakukan oleh bank sentral adalah kebijakan melonggarkan likuiditas perkonomian justru diperlukan untuk menstimulir peningkatan penawaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA