16 September 2010

BINGUNG MEMBANGUN INFRASTRUKTUR


Kendaraan melaju diantara tiang beton proyek monorel yang mangkrak di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (18/6/2010). Hingga menginjak usia ke-483, kota Jakarta belum memberikan transportasi publik yang murah dan nyaman.

Orin Basuki dan Nur Hidayati

Tiang-tiang beton dengan angker besi yang sudah mangkrak dan berkarat di sepanjang Jalan Asia Afrika hingga Jalan Pejompongan, Jakarta, semula akan dijadikan penyangga kereta layang satu rel (monorel). Semula pembangunan infrastruktur ini menjanjikan harapan, tetapi sekarang menjadi beban.

Proyek monorel bukan hanya sekadar simbol kebingungan negeri ini dalam membangun infrastruktur, melainkan juga menyiratkan penantian panjang masyarakat atas adanya sarana yang layak.

Selain proyek monorel, warga Jakarta juga dijanjikan proyek subway yang menghubungkan wilayah selatan Jakarta (Lebak Bulus) dengan utara Jakarta (Kota) melalui jalur lurus di Jalan Sudirman.

Proyek monorel sebenarnya sudah bisa dijalankan dengan Rp 6 triliun-Rp 7 triliun, sedangkan proyek subway Rp 16 triliun atau total Rp 22 triliun- Rp 23 triliun.

Hal itu sekitar 38,9 persen dari total anggaran yang dikelola Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2011 sebesar Rp 56,5 triliun atau 10,5 persen dari total Surat Berharga Negara (SBN) yang akan diterbitkan tahun 2011, yakni Rp 209 triliun.

Apalagi kalau dibandingkan dengan anggaran belanja negara dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2011 sebesar Rp 1.202 triliun. Itu artinya kebutuhan dana untuk dua proyek tersebut hanya sebagian kecil.

Pertanyaannya, mengapa APBN tidak sanggup mendanai proyek-proyek strategis seperti monorel dan subway itu?

Pertanyaan itu muncul dari pengamat ekonomi A Tony Prasetiantono. ”Kita sudah capek menunggu swasta maupun proyek PPP (public private partnership) yang tidak kunjung terealisasi,” ujarnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada rapat kerja dengan gubernur se-Indonesia di Istana Bogor, 5-6 Agustus, menegaskan misi penting mendongkrak kualitas belanja negara dan belanja daerah.

Berbagai formula dirumuskan, sebagian tidak baru dan sudah seharusnya sejak lama diimplementasikan. Sebagian lagi terobosan baru yang didambakan implementasinya.

Dalam RAPBN 2011, dialokasikan belanja modal Rp 121,7 triliun atau 28 persen lebih tinggi daripada perkiraan realisasi tahun 2010. Meski demikian, sasaran infrastruktur yang akan dibangun lebih banyak untuk proyek rehabilitasi.

Anggaran yang realistis

Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan, belanja modal itu antara lain digunakan untuk membangun jaringan rel kereta api 85 kilometer (km) jalur ganda dan peningkatan kondisi jalur kereta api 126 km.

Selain itu, juga akan digunakan untuk pengembangan dan rehabilitasi 118 bandara, membangun 14 bandara baru, membangun transmisi listrik sepanjang 1.558 km dan gardu induk 1.280 megavolt ampere, serta meningkatkan mutu hunian layak di 1.500 desa.

Sementara berbagai proyek bernilai besar masih berharap pada kontribusi sektor swasta. Dari kebutuhan investasi infrastruktur senilai Rp 1.500 triliun dalam lima tahun ke depan, pemerintah hanya sanggup mendanai Rp 500 triliun atau Rp 100 triliun per tahun.

Proyek besar, seperti monorel dan subway, terabaikan karena proyek infrastruktur dasar pun belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Meskipun ada dana Rp 100 triliun per tahun, nyatanya pemerintah tidak sanggup mendahulukan penyelesaian monorel dan subway.

Keterbatasan anggaran akhirnya menjadi penyebab awalnya. Meskipun penerimaan negara mulai menembus Rp 1.000 triliun atau tepatnya Rp 1.086,4 triliun pada 2011, tetap tidak mampu menutup semua kebutuhan belanja negara yang sebesar Rp 1.202 triliun itu.

Akibatnya, pemerintah masih perlu berutang Rp 209 triliun tahun depan untuk menutup kekurangan dana belanja plus membayar obligasi negara dan pinjaman luar negeri yang jatuh tempo.

Andalan satu-satunya untuk menarik dana infrastruktur swasta adalah mekanisme PPP. Namun, untuk mekanisme PPP ini, pemerintah masih mencari- cari formatnya.

Mekanisme PPP memang menjanjikan karena sudah ada contoh suksesnya, yakni Inggris.

Jadi, pada prinsipnya, apa pun jenis infrastrukturnya, tetap akan menarik bagi investor.

Hanya saja investor jangan dibuat bingung dengan konsep PPP yang diterapkan. Ini penting karena kebingungan investor pada konsep PPP masih berlangsung hingga saat ini di Indonesia.

Setelah dana tersedia di APBN, hal terpenting selanjutnya adalah memastikan agar anggaran itu dikelola dalam sebuah kebijakan fiskal yang efektif, tidak bocor, perencanaan sesuai dengan realisasi, dan tidak lambat dicairkan.

Holtham G dan J Kay dalam artikelnya ”The Assessment: Institutions of Policy” terbitan 1995 menegaskan, kebijakan fiskal yang efektif itu membutuhkan perencanaan dan eksekusi anggaran yang realistis dan akurat.

Untuk menjadi realistis dan akurat itu tak hanya dibutuhkan kapasitas administratif di dalam pemerintahan, tetapi juga sistem anggaran yang disiapkan dengan prosedur untuk merencanakan dan mengawasi pencairan dananya secara efektif.

Sebenarnya Indonesia berada pada momentum sejarah yang memberi peluang perekonomian negeri ini berkembang. Pertumbuhan ekonomi bertumbuh pesat didorong oleh kontribusi konsumsi rumah tangga, kinerja ekspor, dan investasi. Pada semester I-2010 ekonomi tumbuh 5,9 persen dibandingkan dengan semester I-2009.

Pertumbuhan tak merata

Meski demikian, pertumbuhan ekonomi itu belum merata. Di Papua, misalnya, pada semester I-2010, pertumbuhannya minus 14,9 persen. Pertumbuhan negatif sebesar itu terjadi ”hanya” karena penurunan produksi PT Freeport.

Freeport dan pertambangan migas di daerah itu menopang 56,19 persen pertumbuhan ekonomi Papua. Namun, kenyataan membuktikan, seandainya produksi Freeport selalu meningkat pun, kesejahteraan rakyat Papua sama sekali tidak dapat semata disandarkan pada perusahaan milik asing itu. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tidak akan pernah dapat dicapai tanpa memastikan APBN dan APBD berkualitas baik.

Di tingkat nasional, kemampuan pemerintah terbatasi oleh sempitnya ruang fiskal APBN. Pada periode 2005-2010, secara rata-rata 91 persen pendapatan dalam negeri digunakan untuk membiayai belanja mengikat, yakni transfer ke daerah, subsidi, belanja pegawai dan barang, serta pembayaran bunga utang.

Daya serap belanja kementerian dan lembaga pun belum optimal. Penyerapan belanja memang meningkat dari 76 persen pada 2005 menjadi 97,5 persen pada 2009. Akan tetapi, hampir 50 persen serapan terjadi pada tiga bulan terakhir.

Kualitas belanja daerah juga memprihatinkan. Dalam empat tahun terakhir, alokasi belanja modal di daerah turun dari Rp 105 triliun jadi Rp 96 triliun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA