16 September 2010

MENATA PKL Rendah Hati Adopsi Kearifan Lokal

Yang ada cuma wajah sumringah para pedagang kaki lima (PKL). Yang ada cuma senyum para aparat Satuan Polisi Pamong Praja ( Satpol PP) Kota Solo. Yang ada hanyalah senyum Wali Kota Solo Joko Widodo dan wakilnya, FX Hadi Rudyatmo.

Semua orang mengenang acara itu. Pemindahan 989 pedagang yang berusaha di Monumen 45 Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi, tanpa paksaan, Juli 2006. Padahal, para pedagang itu sudah mengais rezeki di lokasi lawas sejak 1998.

Coba bandingkan dengan "kebiasaan" aparat pemerintah di Nusantara saat menghadapi PKL. Sudah pasti yang maju pertama kali adalah pentungan alias kekerasan. "Padahal, para PKL itu kan tidak mau digebuk," kata Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono yang menjadi salah satu pembicara pada peluncuran dan diskusi buku Indonesia Menentukan Nasib: Dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan pada Rabu (15/9/2010) yang dimoderatori oleh Presiden Rajawali Foundation Fritz E Simandjuntak. Hadir juga dalam acara tersebut pemilik Grup Rajawali Peter Sondakh.

Sementara pembicara lainnya, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof Dr Firmanzah, PhD, mengemukakan, ada banyak kearifan lokal, seperti pengalaman dari Solo tadi, di Tanah Air yang sejatinya menjadi contoh bagi Indonesia untuk tampil lebih baik setelah reformasi bergulir. "Sayangnya, banyak dari kita yang tak mau mengambil contoh-contoh tersebut untuk diterapkan di lingkungannya," kata Firmanzah.

Lebih lanjut, Firmanzah memaparkan riset yang pernah dilakukan pihaknya. Dari situ diperoleh catatan penting kalau tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga yang sudah selangkah lebih maju menerapkan efisiensi atau kearifan tadi sangat tinggi hasratnya untuk berbagi. "Tapi, pihak yang diajak berbagi justru sedikit sekali menyerap apa yang dibagikan tadi," ujarnya.

"Belum ada semangat rendah hati untuk mengadopsi kearifan lokal. Yang ada, maunya mencari-cari kearifan lokal sendiri yang akhirnya malah enggak ketemu," imbuh Trias.

Maka, sebagaimana juga dipesankan oleh Dekan Harvard Kennedy School of Government David T Ellwood, juga pembicara dalam kesempatan itu, ada banyak pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan Indonesia agar mampu lebih bersaing dengan negara-negara tetangganya di kawasan Asia Tenggara.

Paling tidak, catatan penting yang termaktub di dalam buku setebal 222 halaman itu menunjukkan kalau Indonesia keteteran dalam empat hal. Dibandingkan dengan China, India, Thailand, Malaysia, dan Filipina, Indonesia tertinggal dalam hal aliran investasi langsung asing (FDI), industri manufaktur, infrastruktur, dan pendidikan. "Pendidikan di Indonesia sekarang tidak nyambung dengan permintaan industri. Makanya, sekarang banyak pengangguran terdidik," kata Firmanzah.

Buku berisi laporan kajian strategis ini merupakan hasil kerja sama Rajawali Foundation dengan Harvard Kennedy School, Ash Center for Democratic Governance and Innovation,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA