16 September 2010

OJK di Tengah Perebutan Kewenangan


Orin Basuki

Kehadiran otoritas jasa keuangan atau OJK tinggal menunggu waktu setelah sebelumnya terjadi pro dan kontra yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Perbedaan semakin tajam karena juga menyangkut ”rebutan” kewenangan antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan.

Rapat Kerja Panitia Khusus Rancangan Undang- Undang OJK pada 18 Agustus 2010 menyetujui pembahasan tingkat lanjut pembentukan lembaga pengawas baru ini.

Seperti apa bentuk pengawas industri keuangan ini? OJK versi Kementerian Keuangan (Kemkeu) didesain untuk membagi kekuasaan pengawas industri keuangan secara berlapis sehingga kekuatan tidak bertumpu pada satu tangan.

Hal itu diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pihak tertentu. Sistem yang ada di Bapepam-LK dan BI menyatukan fungsi pengawasan dan pengaturan di satu tangan, yakni Ketua Bapepam-LK dan Dewan Gubernur BI.

Jika kebetulan pejabat yang menduduki posisi itu tergolong jujur, Indonesia bisa bersyukur karena tidak ada korupsi. Namun, jika pejabatnya korup, negeri ini akan menuai bencana. Untuk itu, Kemkeu mendorong dibentuknya OJK.

Sistem dalam OJK tidak akan mengadopsi semua sistem yang ada di negara lain, baik di Inggris, Korea Selatan, maupun Amerika Serikat.

Sebagai gambaran, jika OJK terbentuk, pengawasan pada industri keuangan, baik bank maupun nonbank, akan berada di satu atap sehingga semua pengawas bisa bertukar informasi dengan mudah. Jika fungsi ini dapat terwujud, niscaya bencana keuangan, seperti Bank Century, sangat mungkin dapat dihindarkan.

Kekisruhan Bank Century antara lain akibat terputusnya informasi tentang produk reksa dana Antaboga yang diterbitkan pemilik bank tersebut.

Saat itu, BI menganggap Antaboga sudah diawasi Bapepam- LK karena merupakan produk reksa dana. Adapun, Bapepam- LK juga tak mengetahui keberadaan Antaboga karena produk ini dijual di dalam lingkungan bank, lembaga keuangan yang ada di bawah pengawasan BI. Kemudian, kasus Bank Century berakhir pada dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun dari pundi-pundi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Ketua Bapepam-LK Fuad Rachmany menuturkan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat subsektoral (oleh masing- masing lembaga pengawas tersendiri) dapat mengakibatkan tidak terdeteksinya risiko finansial dari kegiatan yang berada di wilayah abu-abu. ”Itu membahayakan tingkat kesehatan sistem keuangan,” ujarnya.

Bagi Indonesia, membentuk OJK itu menjadi wajib sifatnya karena menjadi amanat Pasal 34 UU No 3/2004 tentang BI. Pasal ini menyatakan, tugas mengawasi bank akan dilakukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen. Lembaga ini harus terbentuk sebelum 31 Desember 2010.

Independensi

Bagian pokok dari usulan OJK versi Kemkeu adalah independensi, pengecekan berlapis, dan koordinasi. Semua fungsi utama ini terkait dengan struktur organisasi OJK nanti.

Struktur organisasi OJK menganut sistem satu badan. Hanya ada dewan komisioner, yang terdiri atas tujuh orang. Ada dua orang dari kelompok independen, satu di antaranya menjadi ketua komisioner.

Lima anggota komisioner lainnya akan berasal dari perwakilan (ex-officio) BI dan Kemkeu. Selain itu, ada juga anggota komisioner yang merangkap kepala eksekutif pengawas perbankan, kepala eksekutif pengawas pasar modal, dan kepala eksekutif pengawas industri keuangan nonbank.

Untuk menjaga independensi, ketua dan anggota independen dewan komisioner diusulkan menteri keuangan dan ditetapkan Presiden setelah mendapatkan konfirmasi dari DPR. Adapun kepala eksekutif ditetapkan Presiden berdasarkan usulan dewan komisioner melalui menteri keuangan.

Ketiga kepala eksekutif akan ikut membahas aturan yang dibuat dewan komisioner agar semua aturannya membumi. Dengan berdirinya OJK, pilar jaring pengaman sistem keuangan akan bertambah. Sebelumnya, JPSK hanya terdiri atas Kemkeu, BI, LPS, dan Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK).

Ketua dewan komisioner OJK akan bersama-sama menteri keuangan, gubernur BI, dan ketua LPS berada dalam FSSK. Ini signifikan karena FSSK yang akan merekomendasikan situasi krisis kepada Presiden dan memberikan masukan cara pencegahan dan penanganannya.

Sikap BI berbeda

Sikap kritis muncul dari BI. Penjabat Gubernur BI Darmin Nasution menegaskan, pihaknya setuju pengawasan bank dikeluarkan dari pengaruh Dewan Gubernur BI. Namun, syaratnya harus ada Dewan Pengawasan Bank yang berada di bawah Gubernur BI, bukan digabungkan dengan OJK.

Begitu juga Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) yang menolak usul pungutan yang nantinya dibebankan kepada perbankan ketika OJK berdiri.

Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono menyatakan, premi OJK hanya akan membebani bank. Di tengah kontroversi itu, hendaknya perlu diingat, kelengkapan lembaga pengawas tidak jadi jaminan terhentinya tekanan pada sistem keuangan suatu negara. Sebab, sistem keuangan yang efisien mesti memiliki beberapa properti.

Seperti yang diungkapkan JP Allegret, B Courbis, dan Ph Dulbecco dari Universite d’Auvergne Clermont dalam jurnalnya ”Financial Liberalization and Stability of the Financial System in Emerging Markets: The Institutional Dimension of Financial Crises”. Instrumen yang diperlukan dalam sistem keuangan yang efisien adalah pertama, memiliki sistem hukum yang kuat dan dapat ditegakkan.

Kedua, sistem peradilan yang efisien. Ketiga, sistem hak kepemilikan akurat. Keempat, memiliki standar akuntansi berkualitas baik.

Tantangan utama bagi suatu negara yang berusaha membangun arsitektur keuangan baru adalah kemampuan membentuk organisasi yang dapat beradaptasi dengan proses yang berubah-ubah kecepatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA