12 Oktober 2010

CHINA MENGERNYITKAN MATA RI'' BERPERAN

INDONESIA PLASA BY:Toni Samrianto.

FAKTOR

theglobeandmail
China menginginkan teknologi mobil listrik
Tetap menjadi pertanyaan, apakah kekuatan ekonomi akan menjadikan China kekuatan militer malevolent? Pertanyaan serupa muncul dan menjadi fakta ketika Jerman dan Jepang mengalami kebangkitan ekonomi sebelum Perang Dunia II. Paul Wolfowitz, mantan Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia, dan mantan Presiden Bank Dunia, pernah menegaskan keyakinannya bahwa China tak akan menjadi jahat.


Secara perlahan muncul nuansa bersahabat dari China. Ke Taiwan, Presiden Hu Jintao mengirimkan putranya. Ini dianggap sebagai simbol persahabatan. Ke Jepang, China memberi panda untuk ditempatkan di sebuah kebun binatang di Tokyo. Ini juga dinyatakan oleh China sebagai simbol persahabatan.

Persahabatan ini penting. Adalah rasa tidak bersahabat yang membuat kawasan Semenanjung Korea tak bisa meningkatkan diri sebagai kawasan kerja sama ekonomi walau kaitan aktivitas ekonomi sudah terjadi dengan sendirinya. Andai kerja sama seperti itu menguat, dilandasi persahabatan, bukan tak mungkin, China, Jepang, dan Korea, menjadi nukleus dari perekonomian global, dengan etos mongoloidnya.

Mulai berpikir


Namun, panda itu pun telah mati, tak lama setelah perseteruan Jepang-China mencuat awal September. Perseteruan ini terkait dengan pengejaran dua kapal patroli Jepang terhadap kapal nelayan China, yang memasuki Senkaku (versi Jepang), atau Diaoyu (versi China).

Setelah berjam-jam dikejar, kapal nelayan China bermanuver dan menabrak salah satu kapal patroli China. Selang 40 menit kemudian, kapal nelayan China itu menabrak lagi kapal patroli Jepang yang lain.

Jepang menangkap nakhoda dan 14 nelayan China. Pihak Jepang mengatakan, penangkapan dilakukan karena pelanggaran wilayah. China marah dan menuntut pelepasan nelayan dan nakhoda. Jepang menolak. China makin marah.

Empat warga Jepang ditahan dengan alasan memotret instalasi militer China dan menolak Dubes Jepang di China untuk bertemu dengan empat orang yang ditahan sampai sekarang. Kemudian Jepang melepas 14 nelayan dan nakhoda. China tak merasa cukup, dan meminta kompensasi atas penahanan para nelayan.

Jepang menolak. China kemudian melakukan pemeriksaan ketat atas ekspor-impor China dengan Jepang. Sebelumnya China telah menghentikan ekspor komoditas khusus yang amat diperlukan bagi pengembangan teknologi Jepang. China juga telah menghentikan kontak-kontak diplomatik dan kontak-kontak tingkat menteri.

Menteri Luar Negeri Rusia berujar. ”Selesaikanlah masalah, yang terbatas pada sengketa wilayah berdasarkan hukum internasional.” Artinya, tak usahlah China melebarkan tindakan ke segala lini.

Untunglah pada Selasa (28/9/2010), kedua pihak mulai menunjukkan sikap bersedia rujuk. Mungkin Jepang juga salah, karena menahan terlalu lama nelayan itu. Jepang di bawah PM Naoto Kan juga tak kalah garang dengan mengatakan, ”Tak ada yang perlu dipersoalkan soal Senkaku.”

Ini tampaknya soal gengsi, di antara dua negara yang selama ini saling membenci itu. Ucapan Jepang dengan julukan ”Chin”, bernada merendahkan, tak pernah dilupakan China. Namun, melihat langkah China yang mulai menyerempet terlalu jauh, wajar jika kawasan kini mulai mengernyitkan mata.

”Tetangga China mulai gugup soal sengketa wilayah. Ketakutan akan China, yang bisa menjerat dengan kekuatan ekonominya, mulai tertancap,” kata June Teufel Dreyer, ahli China dari University of Miami, AS.

Mungkin China tidak akan seburuk itu. Namun, catatan telah dipertebal. Indonesia, sebagai negara besar yang diinginkan sebagai mitra oleh AS, China, dan Jepang, bisa berperan. RI adalah pilar di kawasan ASEAN. ”Manfaatkanlah!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA