China dan Jepang harus segera menyelesaikan masalah yang terjadi saat ini untuk berdamai lagi. Jika konflik, yang berawal dari tabrakan kapal tersebut, dibiarkan berlarut-larut, kedua pihak akan sama-sama menanggung kerugian besar dan mengganggu stabilitas kawasan.
Dua pengamat hubungan internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dewi Fortuna Anwar dan Zamroni Ismail, di Jakarta, Selasa (28/9), menegaskan hal itu.
Dewi mengatakan, sikap agresif China tersebut bisa dipahami dengan latar belakang sejarah dan keberhasilan negara tersebut membangun kekuatan ekonomi dan militer. ”China sudah terlalu lama menahan diri. Mereka merasa dahulu selalu dipermalukan dan dihina Barat,” tutur Dewi.
Permusuhan dua negara terjadi sejak perang China-Jepang pertama pada tahun 1890-an, kemudian Perang Dunia I dan II. Permusuhan memang sudah mengakar.
Namun, sikap agresif China disertai sikap meremehkan kekuatan negara lain bisa berbahaya bagi China sendiri dalam jangka panjang. Sikap meremehkan itu, antara lain, bisa dilihat dengan sikap ngotot China memperpanjang kasus tabrakan kapal dengan Jepang atau klaim teritorial China atas pulau-pulau di Laut China Selatan.
”China meremehkan reaksi regional dan internasional. Saat ini saja sudah terlihat reaksi balik terhadap China, misalnya dari sikap negara-negara ASEAN yang mulai mendekat dengan AS. Jika China bertahan pada sikapnya sekarang, ASEAN bisa berkonsolidasi untuk menghadapi China,” ujar Dewi.
Jika hal itu terjadi, dampaknya akan buruk terhadap keamanan regional. ”Akan terjadi lagi perlombaan senjata dan rasa saling tidak percaya. Bisa kembali ke era-era awal abad ke-20,” kata Dewi, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, ini.
Zamroni juga memperingatkan, ”Negara-negara di kawasan akan bersatu untuk mempertahankan diri dari (agresivitas) China. Konfliknya akan meluas tidak saja China melawan Jepang, tetapi juga China melawan sejumlah negara.”
Persulit posisi PM
Dari sisi Jepang, menurut Dewi, Perdana Menteri (PM) Naoto Kan sedang menghadapi dilema. Kan ingin memperbaiki hubungan dengan China yang sempat rusak saat pemerintahan PM Junichiro Koizumi gara-gara Koizumi berkunjung rutin ke Kuil Yasukuni. ”Jepang juga masih berhati-hati untuk menjaga citranya sebagai negara pasifis,” ucap Dewi.
Kan juga sedang berada dalam posisi politik lemah di dalam negeri. ”(Partai) Kan kehilangan mayoritas di Majelis Tinggi Parlemen Jepang dan posisi Kan sendiri tidak terlalu kuat saat ekonomi Jepang terus menurun, bahkan disalip China sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Kondisi penurunan ekonomi ini menimbulkan sensitivitas baru di kalangan masyarakat Jepang,” ungkap Dewi.
Dalam kondisi tersebut, memburuknya hubungan dengan China dengan mudah digunakan oposisi, Partai Demokrat Liberal (LDP), untuk menekan pemerintahan Kan.
”Dalam kondisi terjepit ini, pemerintahan Kan harus bereaksi dan menunjukkan, Jepang tidak sedang didikte oleh China. Itu sebabnya dia mengatakan, pembebasan kapten kapal China itu adalah keputusan jaksa dan merupakan masalah hukum semata dan balik minta ganti rugi dari China atas kerusakan kapal-kapalnya,” tutur Dewi.
Karena itu Jepang, di bawah PM Kan, pun harus waspada.
Meski demikian, konflik ini diperkirakan tidak akan berujung pada konflik yang lebih besar. ”Terlalu dini untuk mengatakan kedua negara itu akan perang. Risikonya terlalu besar. Apalagi ketergantungan ekonomi Jepang kepada China terlalu besar,” ungkap Zamroni.
Memanfaatkan forum
Lagi, stabilitas, keamanan, dan kemakmuran kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, salah satunya ditentukan oleh hubungan Tokyo-Beijing. ”Kita harapkan China tidak lagi agresif seperti itu. China dan Jepang harus bersama-sama meningkatkan peran positif di dunia dan bersama-sama membangun pusat peradaban baru di Asia,” tutur Dewi.
Salah satu cara untuk menjembatani konflik ini adalah dengan memberdayakan forum regional, seperti yang telah dilakukan ASEAN untuk meredam konflik negara-negara Asia Tenggara.
Terkait pentingnya peran forum dan diplomasi, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Kurt Campbell, Senin, memuji langkah-langkah PM Naoto Kan dalam mengatasi krisis ini. ”PM Kan telah menangani isu yang sangat sulit ini dengan gaya seorang negarawan sejati. Dan, itu menunjukkan betapa pentingnya proses diplomatik yang damai untuk diterapkan dalam isu-isu seperti ini,” ungkap Campbell.
Untungnya, China juga sadar akan pentingnya perbaikan hubungan. Dari Beijing, Pemerintah China menuntut Jepang segera mengambil langkah-langkah nyata untuk bertemu China di tengah-tengah guna menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung sejak awal September.
”China sangat menghargai hubungan China-Jepang. Akan tetapi, untuk menjaga hubungan bilateral, kedua negara harus bertemu di tengah-tengah dan Jepang harus segera mengambil tindakan-tindakan spontan dan konkret,” tutur juru bicara Kemenlu China kepada para wartawan di Beijing, Selasa.
JEPANG DAN CHINA HARUS BERDAMAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
INDONESIA PLASA