16 November 2010

Perindustrian, Kerja Keraslah

INDONESIA PLASA

Stefanus Osa

Hari ini, 20 Oktober 2010, genap satu tahun Kabinet Indonesia Bersatu II memerintah. Ketidakpuasan terhadap lambannya kinerja Kementerian Perindustrian, yang menjadi bagian dari kabinet, kuat dilontarkan oleh sebagian kalangan pelaku usaha dan pengamat ekonomi.

Padahal, dengan menempatkan MS Hidayat, mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, sebagai Menteri Perindustrian, harapan terhadap kinerja kementerian itu melambung tinggi.

Apalagi, setahun lalu saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Hidayat sebagai menteri, ia masih menjadi Ketua Umum Kadin (2009-2014). Dengan demikian, harapannya, Hidayat lebih memahami kebutuhan dan keinginan dunia usaha, khususnya sektor industri.

Sejak awal, ada indeks penilaian karya yang ditetapkan oleh Presiden untuk Menteri Perindustrian yang harus dicapai dalam lima tahun masa kerja. Indeks tersebut adalah revitalisasi industri pupuk dan industri gula. Pengembangan dan pembangunan industri yang difokuskan untuk peningkatan daya saing industri agar dapat bersaing di pasar global maupun dalam negeri.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, Kementerian Perindustrian diberi tugas merevitalisasi industri pupuk, revitalisasi industri gula, pengembangan kluster industri pertanian oleokimia, dan pengembangan kluster industri berbasis migas kondensat.

Tugas lain, merevitalisasi industri tekstil, industri alas kaki, industri semen, serta mempertahankan opini audit Badan Pemeriksa Keuangan Wajar Tanpa Pengecualian yang telah dicapai pada 2008.

Indikator yang harus dicapai oleh Kementerian Perindustrian pada periode 2010-2014 adalah

pertumbuhan industri nasional tahun 2014 mencapai 7,7 persen. Target pertumbuhan industri tahun ini 4,91 persen. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan investasi industri sepanjang 2010-2014 sebesar Rp 735,9 triliun

Berlalu

Kini, setelah satu tahun, sejak kontrak politik itu ditetapkan, mantan Ketua Umum Pergantian Antar Waktu Kadin Indonesia Adi Putra D Tahir justru menyatakan keprihatinannya terhadap kinerja Kementerian Perindustrian.

Alasannya, pengembangan industri hilir seolah jalan di tempat. ”Keterbatasan infrastruktur selama ini sangat menghambat pengembangan industri hilir. Mimpi besar membangun industri berdaya saing tinggi jika tidak didukung ketersediaan infrastruktur,” kata dia.

Soal infrastruktur sebenarnya bukan hal baru. Keluhan soal infrastruktur, jalan, pelabuhan, kereta api, listrik, dan pasokan gas telah dilontarkan sejak bertahun-tahun lalu.

Maraknya penyelundupan membuat daya saing produk industri nasional di pasar domestik tergerus. Ketergantungan ekspor pada beberapa komoditas dan beberapa negara tujuan. Ketergantungan impor bahan baku, bahan penolong, dan barang modal. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di industri manufaktur. Insentif fiskal yang tidak bersaing, serta suku bunga yang masih tinggi.

Semua itu bukan keluhan yang baru muncul kemarin, tapi sejak bertahun-tahun lalu. Namun, hingga kini belum ada langkah konkret yang bisa memberi ”angin segar” akan terselesaikannya masalah-masalah itu.

Padahal, menurut pengamat ekonomi A Prasetyantoko, dalam pertumbuhan ekonomi, industri adalah jantungnya. ”Begitu pemerintah tidak mampu menciptakan manajemen yang baik, perekonomian tidak akan mempunyai tulang punggung yang kokoh,” ujar dia.

Prasentyantoko mengingatkan agar ekspor yang masih didominasi bahan mentah harus ditinggalkan. ”Inilah momentum untuk melahirkan industri pengolahan guna meraih nilai tambah tinggi,” kata dia.

Namun, sayangnya, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, belum ada pencapaian kinerja yang signifikan.

”Kita tunggu saja implementasi kebijakannya di lapangan. Kelambanan hanya akan membuat pesaing menggilas industri kita. Fokus dan bekerja lebih keraslah!” saran Sofjan.

Realisasi target

Menanggapi hal tersebut, Menteri Perindustrian menjelaskan, untuk revitalisasi pabrik pupuk telah ada kepastian realisasi satu pabrik baru, yaitu di PT Pupuk Kaltim V di Bontang. Nilai proyeknya 800 juta dollar AS. Pabrik ini mendapat pasokan gas dari East Kal sebesar 80 MMSCFD.

Empat industri pupuk lainnya baru dijadwalkan dalam rapat Menperin dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan BP Migas. ”Tidak bisa apa-apa saya kalau tidak ada kepastian suplai gas,” kata Hidayat.

Adapun untuk revitalisasi industri gula, menunggu persetujuan DPR terkait anggaran.

Kerja keras lain yang harus dipacu adalah mendorong penyebaran industri di luar Jawa. Sekitar 75 persen industri terkonsentrasi di Jawa dan Batam. Dibutuhkan penyebaran industri melalui pembentukan kluster industri, seperti Kalimantan Timur, Jawa Timur, Riau, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan yang pantas dikembangkan menjadi kluster industri kakao.

Adapun untuk meningkatkan daya saing, Kementerian Perindustrian menambah staf ahli dan staf khusus.

Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Franky Sibarani, walaupun peringkat daya saing Indonesia naik dari 54 ke 44, tapi posisi Indonesia belum aman. Alasannya, pengembangan industri belum ditopang aspek finansial yang memadai, tingkat suku bunga tidak kompetitif, ketersediaan energi dan infrastruktur terbatas, kebijakan masih tumpang tindih, dan pungutan liar masih merebak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INDONESIA PLASA